Anak Berbakat
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Selasa, 24 Maret 2015 . in Dosen . 2269 views

Pagi ini, saya teringat seorang anak bernama Abdul Latief, yang sehari-hari dipanggil Latief. Anak desa ini, tidak pernah naik kelas. Bertahun-tahun dia tetap saja kelas dua SD. Anehnya, dia tidak peduli dengan prestasinya itu. Setiap akhir tahun pelajaran dan dinyatakan tidak naik kelas, dia tidak pernah merasa gelisah dan apalagi kecewa. Tidak naik kelas diangapnya sebagai hal biasa.

Teman-temannya seumur sudah lulus dan keluar dari sekolah dasar itu. Latief tetap saja duduk di kelas dua. Anehnya, ayah dan ibunya juga tidak merasa gelisah dengan prestasi anaknya. Ayah dan ibunya hanya mengatakan : 'akan diapakan lagi, memang keadaan anak itu seperti itu'. Kenyataan itu diterima apa adanya dan tidak ada yang dirasa perlu digelisahkan.

Latief yang tidak pernah berprestasi di sekolah itu sebenarnya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak sebaya lainnya. Sepulang dari sekolah, ada saja yang dikerjakan, yaitu membongkar mesin. Sepeda motor tua yang dimiliki oleh ayahnya dibongkar berulang-ulang dan kemudian dipasang lagi hingga mesinnya normal kembali seperti semula. Rupanya, Latief ini puas jika bisa membongkar berbagai jenis mesin dan kemudian mengembalikan pada keadaan semula.

Tidak saja sepeda motor, tetapi apa saja yang menggunakan mesin miliknya pasti sudah dibongkar. Dengan kegiatannya seperti itu, sekalipun masih tetap saja duduk di sekolah dasar kelas dua, dan tidajk pernah naik kelas, tetapi pengetahuannya tentang mesin bisa mengalahkan siapa saja di lingkungan itu. Rupanya Latief memang memiliki kecintaan terhadap mesin. Kegagalannya dalam berprestasi akademik di sekolah telah dibayar dengan kelebihannya di bidang permesinan.

Setelah sekian lama, ternyata Latief akhirnya juga bosan bersekolah. Dia keluar sebelum berhasil naik ke kelas tiga, sekalipun sudah dijalaninya bertahun-tahun. Umpama Latif mau menambah lagi masa belajarnya di sekolah juga tidak akan naik kelas. Gurunya sudah merasa putus asa mengajari Latif, sehingga lebih memilih untuk membiarkan saja. Dan ternyata, Latif tahu diri dan akhirnya mengundurkan diri sebelum naik kelas.

Setelah keluar dari sekolah, Latief oleh orang tuanya dibukakan bengkel mobil di pinggir jalan yang cukup strategis. Tentu anak yang tidak pernah berhasil naik kelas tiga Sekolah Dasar itu dengan bengkel itu senangnya luar biasa. Tampak sekali ia merasa mendapatkan kemerdekaan dan memperoleh penyaluran bakatnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, bengkel Latief mulai terkenal. Pelanggannya semakin banyak oleh karena mereka selalu puas dengan pelayanan yang diberikan oleh Latief.

Setelah sekian lama dan mengingat kembali kehidupan Latief, sebagai anak berbakat mesin itu, saya berpikir, bahwa jangan-jangan anak seperti Latief itu jumlahnya banyak tetapi kurang memperoleh perhatian. Anak-anak berbakat seperti itu difonis sebagai anak bodoh. Padahal sebenarnya, Latief bukan tergolong anak bodoh, melainkan ia memiliki bakat atau kelebihan yang berbeda dibanding dengan kebanyakan anak pada umumnya.

Seharusnya, anak-anak berkelebihan khusus seperti itu segera diberikan penyaluran agar bakatnya berkembang lebih cepat lagi. Selain itu, sekolah seharusnya memberikan keleluasaan terhadap anak untuk mengembangkan bakat dan minat masing-masing. Sementara ini, sekolah lebih memberikan pelajaran yang bersifat umum dan kurang memperhatikan minat dan bakat masing-masing siswa.

Bakat itu sebenarnya bisa tumbuh dari lingkungan keluarganya. Anak petani, mungkin lebih cepat dikembangkan ketrampilannya dalam bidang pertanian. Anak nelayan, sejak usia dini sudah mencintai bekerja menangkap dan mengolah ikan. Demikian pula, anak pengrajin oleh karena sehari-hari melihat orang tuanya bekerja sepefrti itu, kecintaan mereka terhadap kerajinan sudah tumbuh sejak kecil. Demikian pula Latief sebagaimana kisah singkat di muka, oleh karena tetangganya punya usaha bengkel, maka sejak kecil ia tertarik dengan mesin.

Selama ini pendidikan masih lebih banyak mengajak anak menjadi tahu dan mengerti tentang sesuatu yang berada di luar lingkungannya. Pendidikan belum banyak yang diarahkan untuk mencintai terhadap apa yang ada di dekatnya. Akibatnya, anak petani tidak terlalu mengerti tentang pertanian, anak nelayan tidak paham tentang perikanan, anak seorang pedagang tidak mengerti berdagang, dan seterusnya. Akhirnya seolah-olah pendidikan justru menjauhkan anak dari kultur dan budayanya sendiri. Anak petani menjadi merasa hebat tatkala sudah berhasil tidak menjadi petani. Demikian pula, yang terjadi pada anak nelayan, pedagang, pengrajin, pendidik, dan seterusnya. Padahal seharusnya tugas pendidikan adalah menemukan bakat dan selanjutnya mengembangkannya. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up