Berprasangka
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 12 Oktober 2016 . in Dosen . 1863 views

Jangan dikira berprasangka itu tidak berbahaya,. Dalam hal-hal tertentu amat membahayakan, baik bagi orang yang berprasangka itu dan juga tentu terhadap orang lain yang disdangkakan itu. Pandangan terhadap seseorang, baik menyangkut pikiiran, perbuatan ataupun lainnya seharusnya dipahami betul. Sebelum seseorang menyatakan pandangannya, semestinya mengetahui dulu, apa sebenarnya yang dikatakan, dianut, dan juga diperbuat agar tidak melahirkan kesalahan dalam memberikan penilaian.

Namun biasanya orang tergesa-gesa melakukan sesuatu, tidak kecuali dalam berkomentar, menilai, atau juga menganggap orang lain. Padahal orang bijak selalu mengingatkan, bahwa jangan tergesa-gesa atau terburu-buru dalam menilai atau menyempulkan sesuatu. Apalagi hal itu menyangkut orang, organisasi, dan bahkan ukuran yang lebih besar lagi. Disarankan bahwa jika mendengar sesuatu maka dengarkanlah hingga menjadi paham, dan juga jika melihat sesuatu maka lihatlah hingga yang terlihat itu benar-benar jelas. Pesan itu menjadi penting oleh karena seseorang tatkala mendengarkan sesuatu belum tentu apa yang didengarkan dan dilihatnya sudah sesuai dengan apa yang ditangkapnya.

Kemampuan panca indera selalu terbatas. Hal demikian itu menjadikan apa yang dilihat dan juga didengar belum tentu sama persis dengan apa yang sebenarnya terjadi. Itulah sebabnya salah paham, salah pengertian dan juga salah menilai itu sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang perguruan tinggi selalu mengajarkan bahwa dalam hal melihat dan juga mendengarkan sesuatu harus dilakukan secara saksama. Jika perlu harus dilakukan hingga berulang-ulang, agar informasi atau data yang digunakan sebagai bahan untuk memahami itu bernar-benar mencukupi, supaya dalam mengambil pengertian dan atau kesimpulan tidak salah.

Namun oleh karena didorong hawa nafsu, atau keinginan cepat memberikan penilaian atau kesimpulan, hingga orang perguruan tinggi sekalipun melakukan kesalahan itu. Sesuatu yang belum diketahui secara jelas, atau nformasinya masih terbatas, datanya belum dimiliki, ternyata sudah terburu-buru menilai tentang sesuatu. Mungkin saja, dalam menilai itu mereka menggunakan standar atau kejadian lain yang belum tentu memiliki kesamaan. Akibatnya, penilaian itu keliru. Inilah bahayanya sebuah sakwasangka. Merugikan terhadap semua pihak.

Belum lama ini, saya datang ke wilayah yang masyarakatnya benar-benar majemuk, baik dari etnis, adat kebiasaan , dan bahkan juga agama. Saya diundang ke tempat itu untuk memberikan ceramah pada acara peletakan batu pertama pembangunan masjid di sebuah pondok pesantren. Di wilayah itu, masyarakat muslim tergolong minoritas, yakni hanya lebih kurang 20 persen saja. Semua tokoh dari berbagai etnis dan agama itu diundang dan mereka juga hadir, termasuk para pejabat, hingga bupati, wakil bupati, anggota DPRD, dan tentu organisasi sosial keagamaan.

Para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan juga pemuka agama yang hadir diminta secara bergiliran meletakkan batu pertama pembangunan masjid sekalipun mereka itu berbeda agama. Tidak ada kesan bahwa di antara mereka berbeda agama, dan bahkan, saya juga melihat tokoh yang berbeda agama itupun juga memberikan amplop berisi uang sumbangan pembangunan. Melihat pemandangan itu, saya mencoba bertanya kepada pejabat setempat tentang apa yang menjadi kendala dalam membangun kerukunan. Pertanyaan itu olehnya dijawab singkat, bahwa yang berbahaya itu adalah prasangka.

Di antara kelompok yang berbeda beda kadang muncul pandangan atau penilaian yang sebenarnya hanya dibangun dari prasangka-prasangka dan bukan dari informasi yang cukup. Konflik yang biasanya muncul selalu dari prasangka, padahal akibatnya amat fatal. Maka menurut tokoh dimaksud, bahwa yang terpenting adalah agar ada kesadaran dari semua pihak, bahwa dalam menilai dan menyimpulkan sesuatu harus berdasarkan pada data dan atau informasi yang cukup. Pendapat itu, tentu betul sekali, hanya persoalannya, bagaimana membiasakan masyarakat tidak berprasangka. Sementara itu, hingga di perguruan tinggi saja, kebiasaan itu belum sepeniuhnya bisa dihilangkan. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up